Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

6 Sumber Masalah Konflik Sosial Di Lingkungan Pesantren

6 Sumber Masalah Konflik Sosial Di Lingkungan Pesantren

Pondok Pesantren dihuni sekelompok manusia terdiri dari pengelola, pendidik, pengasuh, guru dan sejumlah orang yang terlibat didalamnya.

Pada proeses perjalanannya sebagai lembaga pendidikan tentu tidak akan luput dari permasalahan konflik sosial.

Hal ini didasari karena fitrah manusia itu terus berfikir dan bergerak yang dipengaruhi oleh nafsu serta perasaan hati yang kenyataannya tidak semua manusia mampu melakukan controling dengan baik.

Apa itu Konflik Sosial.?

Konflik sosial adalah pertentangan antar anggota masyarakat yang bersifat menyeluruh dalam kehidupan.

Konflik Sosial Dilingkungan Pesantren dapat dimaknai dengan pertentangan antar warga pesantren, antar guru, pengasuh, staff, karyawan atau bahkan pimpinan dan warga pesantren lainnya yang terlibat.

Konflik sosial yang terjadi antar warga pesantren tentunya akan memberikan energi negatif dalam lingkungan pesantren itu sendiri, jika saja tidak dibendung maka kesenjangan komunikasi akan berlarut tak berkesudahan.

Artikel ini dimuat penulis berdasarkan riset dan pengalaman penulis tanpa bermaksud menyinggung siapapun atau lembaga manapun.

Penulis merasa perlu menerbitkan tulisan ini untuk suatu tujuan yaitu menyadarkan diri siapapun yang telah memilih jalan hidup mengabdikan dirinya kepada pesantren sehingga ia terhindar dari konflik sosial

Ada 5 Sumber Permasalahan yang kerap menciptakan konflik sosial dilingkungan pesantren.

1. Bawa Perasaan (Baper)

Orang yang suka bersikap mengedepankan perasaan atau mudah terbawa perasaan sejatinya tidak akan pernah merasakan hidup dalam keadaan damai dan nyaman terlebih lagi jika ia berada dilingkungan pesantren bahkan dilingkungan masyarakatpun dirinya tidak akan merasa tenang

Dalam bahasa kekinian, sering disebut dengan istilah "Baperan"

Orang yang baperan hakikatnya ia sedang mengalami gangguan psikologis, sering terbelunggu dengan rasa cemas yang tidak mendasar dan anggapan atau prasangka berlebihan sehingga melahirkan spekulasi negatif.

Orang baperan sangat sulit beradaptasi dalam suasana organisasi dan kerjasama team. Nasehat atau masukan yang dialamatkan kepadanya kerap dimaknai dengan dugaan atau prasangka negatif

Perlu dipahami bahwa situasi kinerja dilingkungan pesantren akan selalu dihadapkan dengan hal-hal yang berbau teguran, kritik atau nasehat, terkadang pula diberbagai kondisi bercampur aduk antara nasehat dan teguran. 

Sebenarnya, jika saja hal itu dimaknai dengan pemikiran jernih dan sikap bijaksana alias berbaik sangka maka segala sesuatunya akan baik-baik saja.

Namun ternyata bagi kaum baperan tidak demikian, mereka terjebak dalam buaian perasaan yang tentu arah, merasa diri terzholimi atau tidak disukai atau bahkan mengaku dirinya mendapatkan tekanan.

Parahnya, perasaan yang mereka alami itu terkadang diungkapkan atau diumbar kepada orang lain sehingga membangun stigma atau framing negatif dikalangan publik. 

Hal-hal kecil akan selalu berdampak besar bagi kaum baperan, pada era digital dimasa sekarang ini dimana aplikasi online media sosial seperti whatsapp merupakan salah satu alat komunikasi interaktif.

Kaum baperan akan terus dan selalu merasa diri dipermalukan atau disakiti setiap saran dan masukan yang ditujukan kepadanya bahkan suatu pernyataan yang tidak bermaksud disematkan kepadanya pun kerap dimaknai sebagai serangan.

Sikap kaum baperan ini merupakan kanker atau sumber penyakit yang kerap menciptakan konflik sosial, terlebih lagi jika mereka bersuara di media sosial dengan menunjukkan bahwa dirinya terzholimi atau ditindas, padahal kebenaran situasinya tidak demikian.

2. Tidak Terbuka Dan Kurang Bersosial

Berdiam diri atau selalu menyendiri enggan untuk bersosial merupakan sikap yang tidak patut dimiliki warga pesantren.

Warga Pondok Pesantren dengan sejumlah manusia yang berada didalamnya secara kelembagaan dilabeli dengan sebutan "Keluarga Besar". Lingkungan kekeluargaan yang dibangun untuk saling berbagi, tolong menolong dan hubungan tenggang rasa lainnya.

Jika ada warga pesantren yang tidak suka berbaur atau atau menutup diri untuk tidak bersosial dengan warga pesantren lainnya maka perasaan dan fikirannya akan mudah dan cepat terganggu 

Begitupula dengan sikap yang tertutup (berlagak misterius) atau enggan bersuara dalam forum resmi. 

Tidak mau menyatakan kejujuran atau enggan berkomunikasi tentang situasi yang sedang dialami atau kondisi yang dirasakannya, saat ditanyakan atau diberikan kesempatan berbicara, ia hanya menyampaikan bahwa segalanya baik-baik saja

Namun ternyata ia bersuara dibelakang atau mengumbar keluhannya di media sosial, sikap seperti ini benar-benar cenderung menciptakan masalah konflik sosial yang serius. 

Seorang ustad menerima tugas penting yang diamanahkan kepadanya dan menyatakan dirinya siap untuk itu. Padahal ia sedang dalam kondisi tidak prima untuk bertugas, namun ia menutupi hal itu karena faktor tidak enak hati ataupun segan untuk menolak.

Atau seorang ustazah pada saat sedang bertugas tanpa sengaja ia melakukan kekeliruan, ia menutupi hal itu dengan menunjukkan ekspresi seakan tidak terjadi apa-apa, padahal ia sudah merusak barang atau menghilangkannya, karena rasa takut dan segan iapun menutupi hal itu

Ironinya jika seorang ustad atau ustazah dengan sengaja menutupi peristiwa atau kasus yang terjadi dikalangan santri, mungkin saja maksudnya baik agar rekan kerja tidak terbeban dan beranggapan ia mampu menyelesaikan masalah itu seorang diri.

Namun sejatinya, pola kasus besar yang terjadi dikalangan santri pada akhirnya akan mencuat kepermukaan bahkan sampai merambah ke wali santri dan oknum diluar pesantren, jika hal ini terjadi tentunya akan akan merepotkan lembaga dan warga seisi pesantren.

3. Singel Fighter

Seorang ustad atau ustazah yang selalu menohok dalam melakukan pergerakan dibebagai tugas tanpa mau bekerja sama dengan tim.

Inilah perwujudan sikap dari sosok seorang Singel Fighter

Singel Fighter adalah julukan yang disematkan kepada orang yang bekerja secara tunggal dengan pemikiran dan kemampuannya sendiri, terkadang pula tidak menerima masukan dari orang lain dengan alasan tidak mampu mengimbangi pemikiran dan pergerakannya.

Pada dasarnya seorang singel fighter itu berbuat untuk kepentingan bersama namun sikapnya berdampak pada hubungan sosial antar rekan kerja menjadi tidak harmonis

Seorang singel fighter akan selalu dihadapkan dengan perselisihan atau gesekan komunikasi dengan warga pesantren karena ia selalu merasa dipentingkan dan merasa hanya dirinya mampu berbuat, tanpa peran dan pengaruhnya seakan mustahil untuk dilakukan.

Namun, dalam suatu kondisi sosok singel fighter muncul pada saat orang lain enggan untuk berbuat, ia tidak sepakat dengan pemikiran itu dan memilih untuk bekerja sendiri akan tetapi hal ini akan terus berkelanjutan jika ternyata ia mampu dan berhasil

Membiarkan singel fighter menjamur dilingkungan pesantren merupakan kesalahan besar dan akan terus menerus menuai konflik sosial dalam tubuh keorganisasian lembaga pesantren.

4. Money Oriented 

Money Oriented merupakan sebuah pemikiran atau sikap yang selalu menginginkan hasil atau bersandar pada rugi secara finansial.

Jika seorang ustad atau ustazah atau siapapun warga yang bekerja dan tinggal dilingkungan pesantren berwatak money oriented (matrealistis) maka pemikirannya dan perilakunya selalu mengarah pada asas keuntungan

Pola kinerja dilingkungan pesantren kerap bersandar pada kelapangan hati dan kebesaran jiwa yang tidak dapat diukur dengan materi, orientasi yang dibangun adalah amal akhirat namun tidak pula mengenyampingkan kebutuhan kehidupan dunia, artinya kebutuhan hidup warga pesantren tidak terabaikan.

Akan tetapi jika seseorang sudah membanderol harga jasa dan waktunya untuk pesantren maka iapun akan berhadapan dengan pertimbangan besar setiap melakukan pergerakan.

Ia tidak begitu peduli untuk mengerjakan hal-hal yang dianggapnya tidak menghasilkan materi

Orang yang berorientasi pada materi dengan memilih bekerja di lembaga pesantren, maka pilihannya itu adalah kesalahan dan sangat keliru.

Sejatinya, ia tidak akan menemukan titik kenyamanan sampai kapanpun, sudah tentu akan melahirkan kesenjangan pada kinerja dan akan selalu berhadapan dengan masalah sosial dengan warga pesantren lainnya, akhirnya terjadi konflik.

5. Human Error

Oknum ustad atau ustazah yang sudah terkontaminasi dengan prinsip yang bersebarangan dengan pesantren maka keberadaannya akan cenderung mencipatakan konflik antar warga pesantren.

Orientasi dan pola fikirnya tidak sepadan dengan sistem yang ditetapkan pesantren, hal ini bisa saja terjadi kepada siapapun yang berada dilingkungan pesantren atau terikat kontrak kerja dengan lembaga pesantren.

Berada pada titik jenuh atau mendapati beban yang tidak dapat dibendung akhirnya merasa tidak betah atau tidak nyaman namun enggan untuk keluar meninggalkan pesantren.

Human error dapat dimaknai dengan "penyimpangan" mengakibatkan lahirnya konflik sosial antar rekan kerja dalam komunitas begitu juga dengan komunitas dilingkungan kerja pesantren.

Dampak dari human error sangat berahaya, dimulai dari pertunjukan sikap tidak peduli seperti kelalaian dalam tugas, mengkritik secara frontal, malas bekerja dan yang lebih fatal jika hal itu terjadi pada ustad atau ustazah yang berperan sebagai guru, mengabaikan tugasnya dalam mendidik dan mengasuh.

6. Curhat Di Media Sosial

Mungkin sebagian orang berpendapat bahwa mengumbar masalah di media sosial adalah tindakan wajar untuk sekedar mendapat simpati netizen di dunia maya.

Mendapatkan balasan komentar atau perhatian adalah sebuah kesenangan tersendiri bagi para penikmat media sosial.

Namun, hal tersebut sangat tidak patut dilakukan seorang guru pesantren, menggunakan media sosial sebagai wadah bercurah hati atau ditujukan untuk meluapkan kekesalan kepada seseorang atau bahkan mungkin menyinggung rekan kerja di pesantren. 

Ini adalah tindakan yang tidak memberi kebaikan apapun pada pelakunya, bahkan justru akan merusak citranya sebagai guru dan menciderai nama pesantren tempat ia bertugas.

Seorang guru, pekerja atau siapa saja yang bertugas di lembaga pesantren pasti pernah mengalami kekecewaan, perasaan tidak enak atau merasa tersakiti, semua ini hanya dinamika atau bunga-bunga kehidupan dilingkungan pesantren.

Apakah hal itu wajar diumbar dalam postingan media sosial.?

Bagaimana jika itu diketahui wali santri.? oknum diluar pesantren atau siapa saja yang dikenal dapat menyaksikan postingan itu.?

Alhasil hanya akan menciptakan masalah yang semakin meluas

Jika dicerna dengan pemikiran yang jernih, maka tindakan memuat postingan dengan mengumbar masalah perasaan pribadi kepada publik bukanlah perilaku sikap yang sehat, meskipun ditujukan untuk menenangkan hati atau menemukan solusi dari simpati publik yang berempati memberikan komentar.

Kenyataanya tidak, bahkan cenderung melahirkan masalah yang berkepanjangan.

Apa jadinya jika guru di pesantren saling berbalas kritik dan sindirian di media sosial, begitupula ungkapan perasaan yang dimuat di story whatsapp justru akan memperkeruh suasana sosial semakin buruk.

Artinya, bercurah hati dengan memuat postingan di media sosial atau ulasan keluhan hati di story sejatinya tidak memberikan dampak positif bahkan sebaliknya akan merugikan pelakunya dan fatalnya merusak nama baik lembaga pesantren.

Bagi orang yang sudah terbiasa berposting ria dengan curahan hati dan mengumbar keluhan serta sindiran di media sosial, mereka akan membantah dan membela diri dengan alasan postingan atau ungkapan di media sosial adalah hak asasi dan privasi.

Namun, kenyataannya ungkapan yang tidak bijaksana dimedia sosial akan mempengaruhi komunikasi di dunia nyata. Inilah salah satu dasar lahirnya UU ITE, dengan maksud agar pengguna media sosial tidak sembarangan mengungkapkan kalimat yang berpotensi mengundang polemik 

Kesimpulan

Apa saja bisa terjadi dilingkungan pesantren termasuk permasalahan konflik sosial, sebagai lembaga pendidikan yang mengurusi peserta didik dan kehidupan orang yang berada didalamnya tentu kondisi pesantren itu tidak selalu dalam keadaan baik-baik saja.

Namun sebagai insan yang dianugerahi akal untuk berfikir sehat maka segala sesuatu yang berpotensi menciptakan konflik dapat dicegah.

Bekerja atau mengabdi di pesantren bukanlah perkara mudah,hanya orang-orang yang sudah siap mentalitas jiwa dan hati nuraninya yang mampu bertahan dengan segala permasalahan yang dihadapkan kepadanya

Namun, segala tantangan yang datang dapat kelola dengan membangun komunikasi yang solid dan prasangka baik. Komunikasi yang buruk hanya akan menghilangkan kedamaian dan ketentraman dilingkungan Pondok Pesantren.

Jika anda merasa sudah tidak nyaman berada dilingkungan pesantren dan ingin segera meninggalkannya untuk mencari kehidupan baru diluar sana, maka tinggalkanlah pesantren itu dengan cara yang baik dan berpamitan dengan santun.

Jangan memaksakan jasad anda berada di pesantren namun jiwa dan pemikiran anda ada diluar, artinya disaat anda merasa sudah tidak betah atau tidak kerasan bekerja di pesantren maka segera langkahkan kaki anda.

Bertahan dengan situasi seperti itu hanya akan membuat diri anda semakin tidak tenang dan rentan berbuat hal diluar nalar serta hubungan sosial anda dengan warga pesantren laiinya semakin tidak baik, inilah yang akan menjadi sumber masalah konflik sosial pesantren

Pergi meninggalkan pesantren dengan cara terhormat adalah pilihan terbaik dari pada bertahan dengan situasi hati yang berkecamuk yang sangat rentan menuai masalah dan pada akhirnya pula, keluar dari pesantren dengan cara yang tidak terhormat

Jika saja keluar dari pesantren dengan tidak terhormat, sungguh itu adalah situasi yang sangat disayangkan bagi sosok perjuang yang pernah mengabdikan dirinya sepenuh hati pada pesantren.

Posting Komentar untuk "6 Sumber Masalah Konflik Sosial Di Lingkungan Pesantren"